Selasa, 25 Oktober 2011

Teori Behaviorisme

TEORI BEHAVIORISME

Latar Belakang
Aliran ilmu jiwa tingkah laku (behavior – tingkah laku) dipelopori oleh Ivan Petrovich Pavlov yang lahir di Rusia tahun 1849 dan meninggal tahun 1936.

Ia membangun psikologi belajar dengan melakukan penelitian eksperimen tingkah laku. Elemen tingkah laku yang paling sederhana adalah reflek, dimana hubungan stimulus dan respon tejadi secara cepat, mekanik, otomatis, tanpa melalui otak, pikiran, atau kognisi. Gejala-gejala jiwa tingkat tinggi seperti pengertian, pemahaman, pikiran, dsb itu, sebenarnya merupakan complexitas “hubungan yang rumit dari” stimulus dengan respon. Termasuk kegiatan belajar, tidak lain adalah proses usaha (kegiatan) untuk perubahan hubungan antara stimulus dengan respon (dapat membentuk atau menghilangkan), maupun mengubah gradien atau tingkatan hubungan stimulus dan respon.

Konsep hubungan Stimulus (S) – Respon (R) dari Pavlov itu sekarang disebut kuno (classic), kemudian dijuluki classical conditioning karena usaha dikembangkan terus oleh ahli-ahli lain seperti Thorudike Skinner, Hull, Gutrie, Tolman, Dollar and Miller. Konsep-konsep hasil pengembangan berikutnya tersebut dijuluki operant conditioning, instrumental conditioning.
Sebenarnya Behaviorisme itu termasuk aliran assosiasi yang sudah ada sejak abad 18 yang dirintis oleh Hartly dan diteruskan oleh Alexander Fain. Aliran assosiasi (hubungan) ini yang dibahas hubungan (assosiasi) antara kesan-kesan (tanggapan-tanggapan) hasil pengamatan dengan indera yang kompleks dan bertingkat-tingkat sehingga menimbulkan pengertian, ingatan, pikiran, dsb. Sedang dalam Behaviorisme assosiasi (hubungan) itu adalah hubungan antara Stimulus (S) dengan Respon (R), yang lebih nyata, riil, konkrit, dan obyektif, sehingga dapat diteliti dengan cermat dengan eksperimen di laboratorium.

Dalam naskah ini dipaparkan eksperimen yang terkenal yang dilakukan oleh Pavlov dan Thorndike.

I.Ekperimen Pavlov
Ia menggunakan binatang anjing sebagai subjek coba. Dari leher anjing dimasukkan saluran bermulut (kelenjar air liur), sehingga saat air liur keluar, akan mengalir lewat saluran menuju tube sebelah kiri, sehingga mudah diamati.

Jalannya eksperimen :
1. Anjing dalam keadaan lapar, diberikan daging (Stimulus), akan keluar air liur (Respon), menjadi hubungan antara S → R.
Hal ini terjadi secara natural, wajar, asli, tanpa syarat, tanpa dilatih berulang-ulang, tanpa dikondisikan (unconditional), sehingga diberi simbol :
U S → U R

2.mBel dibunyikan, seketika itu daging diberikan, maka akan keluar air liur. Demikian diulang dalam sejumlah waktu. Jadi CS + US ( CS dipasangkan, dibarengi US) memunculkan Respon air liur.

3. Bel dibunyikan tanpa dibarengi daging, ternyata keluar air liur.
Disimbolkan :
CS → CR
Bunyi bel tidak biasanya (selayaknya) menyebabkan anjing keluar air liur . Tetapi dengan dipasangkan bersama daging dalam sejumlah waktu, maka bunyi bel menyebabkan keluar air liur. Namun, kekuatan CR (air liur) karena mendengar bunyi), lebih sedikit, Pavlov mengukur dengan tetesan air liur yang muncul.

4. Eksperimen Extinction
Ternyata setelah terjadi anjing mendengar bunyi terus mengeluarkan air liur, tidak seterusnya. Setelah beberapa saat anjing mendengar bunyi bel, tidak mengeluaran air liur. Terjadilah apa yang disebut extinction (rest), berhenti istirahat , jadi CR berhenti tidak muncul CR.

5. Spontaneous recovery experiment
Setelah berhenti tidak muncul air liur, maka daging diberikan lagi bersama bunyi sehingga ditemukan lagi CR, meskipun mendengar bunyi tanpa daging. Demikian seterusnya, namun munculnya CR makin lemah. Hal ini terjadi hanya sampai level tiga (3). Jika diteruskan sudah tidak efektif (pendapat penulis, karena anjing sudah kenyang, tidak mau beraktivitas)

6. Higher Order Conditioning
Eksperimen diteruskan secara bertingkat
a.Daging bersama cahaya diberikan berulang-ulang, muncul air liur
b.Cahaya diberikan tanpa daging, muncul air liur
c.Cahaya dan buzzer (bunyi dengung) diberikan bersama-sama secara berulang-ulang, muncul air liur tetapi berkurangs
d.Buzzer (bunyi dengung) diberikan sendirian, keluar air liur sedikit dan makin hilang, tidak dapat diteruskan / hanya sampai 2 tingkat (cahaya → buzzer).

7.Eksperimen Generalization
Pada saat mendengar bunyi, anjing mengeluarkan air liur, dicobakan mengubah bunyi menjadi 3 golongan, yaitu bunyi dengan frekuensi 2000, frekuensi di bawah 2000, dan bunyi dengan frekuensi diatas`2000. . Ternyata anjing mengeluarkan air liur yang kuantitasnya sama, meskipun bunyi punya getaran berbeda-beda. Ia menyama ratakan (generalisasi). Hal ini sangat penting untuk menerangkan teori transfer of learning. Hasil belajar dapat dipindahkan untuk memecahkan problem lain yang masih serumpun.

8.Eksperimen Discrimination
Pada percobaan di atas, pada saat bunyi dengung (buzzer) dengan 2000 frekuensi berhenti/ istirahat atau extinction, hanya dapat muncul air liur lagi (spontaneous recovery) jika diperkuat (dimunculkan) dengan bunyi berfrekuensi yang sama, yaitu 2000. Anjing membedakan jenis bunyi yang dulu dilatihkan bersama daging adalah bunyi dengan 2000 frekuensi.

Teori belajar menurut Pavlov (classical conditioning)
1)Bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku dari yang semula, menjadi tingkah laku yang dikendali.
2)Perubahan tingkah laku terjadi dengan menciptakan hubungan antara Stimulus dengan Respon yang diharapkan dan atau meniadakan hubungan antara Stimulus dan Respon yang tidak diharapkan
3)Bahwa tingkah laku yang diharapkan dapat terjadi dengan latihan berulang-ulang
4)Bahwa proses belajar terjadi apabila organisme (individu) dalam keadaan siap dan lingkungan disiapkan (individu & lingkungan siap)
5)Bahwa jika tingkah laku yang diharapkan mulai menurun/ istirahat (hilang), maka harus segera diberikan penguat (reinforcement) berupa stimulus yang diberikan saat latihan (discrimination).
6)Bahwa hasil belajar dapat ditransfer untuk memecahkan masalah lain yang masih serumpun (anjing menggeneralisir bunyi dengan frekuensi kurang dari 2000, 2000, atau lebih dari 2000)
7)Dalam proses belajar, lingkungan harus dikondisikan sedemikian sesuai dengan munculnya tingkah laku yang diharapkan, lingkungan sangat berhubungan erat, karena teori Pavlov berada dalam payung empirisme John Locke, bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap terbentuknya pribadi manusia, termasuk proses dan hasil belajar.

II.Ekperimen Thorndike
Thorndike (1874 – 1949) adalah pengajar pada Universitas Colombia. Menurut dia untuk studi belajar, individu harus diberi suatu problem. Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing sebagai subjek coba. Kucing dimasukkan dalan box berjeruji, sehinga nampak dari luar dan kucing dapat melihat luar lewat jeruji tersebut. Makanan diletakkan di luar box yang dapat dilihat melalui jeruji. Makanan dapat dicapai jika kucing membuka pintu dengan menarik tali perlengkapan yang diatur dalam box, jika kucing lapar ditaruh dalam box, ia dapat belajar memperoleh makanan dengan jalan menarik tali jika ia bergerak di sekeliling aktif dan tiba-tiba menarik tali dan pintu terbuka, kemudian memperoleh makanan. Setelah berkali-kali, kucing dapat melakukan itu dalam waktu yang semakin singkat.

Teorinya:
Dari hasil pengamatan selama eksperimen, Thorndike menemukan hukum belajar yaitu :
1)Law of Effect (Hukum Efek)
Hubungan Stimulus–Respon yang mendatangkan kepuasan, akan semakin kuat hubungan tersebut dan cenderung diulangi karena dipandang berguna (memuaskan). Sedang hubungan Stimulus–Respon yang menyakitkan akan cenderung dihindari (semakin renggang) karena dipandang tidak berguna (Law of Use dan Law of Disuse). Jadi, efek yang muncul berguna atau tidak.
2)Law of Exercise (Hukum Latihan)
Tercapainya hubungan Stimulus–Respon yang diharapkan, harus melalui latihan yang berulang-ulang.
3)Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Proses belajar akan terjadi apabila individu (organisme), lingkungan dan guru dalam keadaan siap.

Beberapa tahun kemudian, Thorndike mengubah Hukum Efek (Law of Effect) menjadi Reward and Punishment. Reward akan mempererat hubungan Stimulus–Respon yang diharapkan, hukuman (punishment) belum tentu melemahkan hubungan Stimulus–Respon yang diharapkan. Karena itu ahli lain (Hull) tidak setuju adanya hukuman.

PANDUAN PENGEMBANGAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

PANDUAN PENGEMBANGAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)


I. Pendahuluan

Dalam rangka mengimplementasikan pogram pembelajaran yang sudah dituangkan di dalam silabus, guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi dasar. Oleh karena itu, apa yang tertuang di dalam RPP memuat hal-hal yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar.

Dalam menyusun RPP guru harus mencantumkan Standar Kompetensi yang memayungi Kompetensi Dasar yang akan disusun dalam RPP-nya. Di dalam RPP secara rinci harus dimuat Tujuan Pembelajaran,Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian

II. Langkah-langkah Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Mencantumkan identitas
• Nama sekolah
• Mata Pelajaran
• Kelas/Semester
• Alokasi Waktu

Catatan:
 RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
 Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus yang disusun oleh satuan pendidikan
 Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada karakteristik kompetensi dasarnya.

A.Standar Kompetensi
Standar Kompetensi adalah kualifikasi kemampuan peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi diambil dari Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar). Sebelum menuliskan Standar Kompetensi, penyusun terlebih dahulu mengkaji Standar Isi mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut :
a. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau SK dan KD
b. keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c. keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.

B. Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar merupakan sejumlah kemampuan minimal yang harus dimiliki peserta didik dalam rangka menguasai SK mata pelajaran tertentu. Kompetensi Dasar dipilih dari yang tercantum dalam Standar Isi. Sebelum menentukan atau memilih Kompetensi Dasar, penyusun terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan Kompetensi Dasar
b. Keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
c. Keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran


C.Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran berisi penguasaan kompetensi yang operasional yang ditargetkan/dicapai dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang operasional dari kompetensi dasar. Apabila rumusan kompetensi dasar sudah operasional, rumusan tersebutlah yang dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat terdiri atas sebuah tujuan atau beberapa tujuan.


D.Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus.

E.Metode Pembelajaran/Model Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih.

F.Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Untuk mencapai suatu kompetensi dasar dalam kegiatan pembelajaran harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan dalam setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan :
a.Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un¬tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b.Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di¬lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang¬kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c.Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un¬tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

G.Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat, dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional. Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referens, dalam RPP harus dicantumkan judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu.

H.Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data. Dalam sajiannya dapat dituangkan dalam bentuk matrik horisontal atau vertikal. Apabila penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.

Model pembelajaran kooperatif Tipe Think Talk Write(TTW)

Think-Talk-Write(muhammad fatur)
Think-Talk-Write (TTW) merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh Huinker dan Laughlin. Strategi think-talk-walk didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah perilaku sosial. Strategi think-talk-write mendorong siswa untuk berfikir, berbicara, dan kemudian menuliskan berkenaan dengan suatu topik. Strategi think-talk-walk digunakan untuk mengembangkan tulisan dengan lancar dan melatih bahasa sebelum menuliskannya. Strategi think-talk-walk memperkenankan siswa untuk mempengaruhi dan memanipulasi ide-ide sebelum menuliskannya. Strategi think-talk-walk juga membantu siswa dalam mengumpulkan dan mengembangkan ide-ide melalui percakapan terstruktur. Menurut Huinker dan Laughlin (1996: 82) menyatakan bahwa

The think-talk-write strategy builds in time for thought and reflection and for the organization of ides and the testing of those ideas before students are expected to write. The flow of communication progresses from student engaging in thought or reflective dialogue with themselves, to talking and sharing ideas with one another, to writing.

Artinya, strategi think-talk-walk membangun pemikiran, merefleksi, dan mengorganisasi ide, kemudian menguji ide tersebut sebelum siswa diharapkan untuk menulis. Alur kemajuan strategi think-talk-write dimulai dari keterlibatan siswa dalam berpikir atau berdialog reflektif dengan dirinya sendiri, selanjutnya berbicara dan berbagi ide dengan temann ya, sebelum siswa menulis. Hal inilah yang mendasari Huinker dan Laughlin mengembangkan strategi pembelajaran TTW.
a. Langkah-langkah strategi think-talk-write
Strategi pembelajaran TTW melibatkan 3 tahap penting yang harus dikembangkan dan dilakukan dalam pembelajaran matematika, yaitu:

1) Think (Berpikir atau Dialog Reflektif)
Menurut Huinker dan Laughlin (1996: 81) “thinking and talking are important steps in the process of bringing meaning into student’s writing”, maksudnya adalah berpikir dan berbicara/berdiskusi merupakan langkah penting dalam proses membawa pemahaman ke dalam tulisan siswa.

Dalam tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban atau strategi penyelesaian, membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri. Menurut Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008: 85) aktivitas berpikir dapat dilihat dari proses membaca suatu teks matemtika atau berisi cerita matematika kemudian membuat catatan tentang apa yang telah dibaca. Dalam membuat atau menulis catatan siswa membedakan dan mempersatukan ide yang disajikan dalam teks bacaan, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa mereka sendiri.

Menurut Wiederhold seperti yang dikutip oleh Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008: 85) membuat catatan berarti menganalisiskan tujuan isi teks dan memeriksa bahan-bahan yang ditulis. Selain itu, belajar membuat/menulis catatan setelah membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama, dan setelah membaca, sehingga dapat mempertinggi pengetahuan bahkan meningkatkan keterampilan berpikir dan menulis.

Menurut Gusni Satriawati (2006: 2-3) dalam pembelajaran matematika berpikir secara matematika digolongkan dalam dua jenis, yaitu berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Contoh berpikir matematika tingkat rendah, yaitu melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, dan mengikuti prosedur yang baku, sedangkan berpikir tingkat tinggi ditandai dengan kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, menggamati data dan mengenali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, generalisasi, menalar secara logik menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara matemaik, dan mengkaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.

Pada tahap ini siswa akan membaca sejumlah masalah yang diberikan pada Lembar Kegiatan Siswa (LKS), kemudian setelah membaca siswa akan menuliskan hal-hal yang diketahui dan tidak diketahui mengenai masalah tersebut (membuat catatan individu). Selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan masalah yang ada secara individu. Proses berpikir ada tahap ini akan terlihat ketika siswa membaca masalah kemudian menuliskan kembali apa yang diketahui dan tidak diketahui mengenai suatu masalah. Selain itu, proses berpikir akan terjadi ketika siswa berusaha untuk menyelasaikan masalah dalam LKS secara individu.

2) Talk (Berbicara atau Berdiskusi)
Pada tahap talk siswa diberi kesempatan untuk merefleksikan, menyusun, dan menguji ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok. Huinker dan Laughlin (1996: 81) menyebutkan bahwa: classroom opportunities for talk enable students to (1) connect the language they know from their own personal experiences and backgrounds with the language of mathematics, (2) analyzes and synthesizes mathematical ideas, (3) fosters collaboration and helps to build a learning community in the classroom. Artinya, siswa yang diberikan kesempatan untuk berdiskusi dapat: (1) megkoneksikan bahasa yang mereka tahu dari pengalaman dan latar belakang mereka sendiri dengan bahasa matematika, (2) menganalisis dan mensintesis ide-ide matematika, (3) memelihara kolaborasi dan membantu membangun komunitas pembelajaran di kelas.
Selain itu, Huinker dan Laughlin (1996: 88) juga meyebutkan bahwa

Talking encourages the exploration of words and the testing of ideas. Talking promotes understanding. When students are given numerous opportunities to talk, the meaning that is constructed finds its way into students’ writing, and the writing further contributes to the construction of meaning.

Artinya, berdiskusi dapat meningkatkan eksplorasi kata dan menguji ide. Berdiskusi juga dapat meningkatkan pemahaman. Ketika siswa diberikan kesempatan yang banyak untuk berdiskusi, pemahaman akan terbangun dalam tulisan siswa, dan selanjutnya menulis dapat memberikan kontribusi dalam membangun pemahaman. Intinya, pada tahap ini siswa dapat mendiskusikan pengetahuan mereka dan menguji ide-ide baru mereka, sehingga mereka mengetahui apa yang sebenarnya mereka tahu dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan untuk dipelajari.

Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008: 86) mengutarakan talk penting dalam matematika karena sebagai cara utama untuk berkomunikasi dalam matematika, pembentukan ide (forming ideas) melalui proses talking, meningkatkan dan menilai kualitas berpikir karena talking dapat membantu mengetahui tingkat pemahaman siswa dalam belajar matematika.
Mu
Pada tahap talk memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Pada tahap ini siswa akan berlatih melakukan komunikasi matematika dengan anggota kelompoknya secara lisan. Masalah yang akan didiskusikan merupakan masalah yang telah siswa pikirkan sebelumnya pada tahap think. Pada umumnya siswa menurut Huinker dan Laughlin (1996: 82) talking dapat berlangsung secara alamiah tetapi tidak menulis. Proses talking dipelajari siswa melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosial. Dengan berdiskusi dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam kelas. Berkomunikasi dalam diskusi menciptakan lingkungan belajar yang memacu siswa berkomunikasi antar siswa dapat meningkatkan pemahaman siswa karena ketika siswa berdiskusi, siswa mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan.

3) Write (Menulis)
Menurut Masingila dan Wisniowska (1996: 95) menyebutkan bahwa writing can help students make their tacit knowledge and thoughts more explicit so that they can look at, and reflect on, their knowledge and thoughts. Artinya, menulis dapat membantu siswa untuk mengekspresikan pengetahuan dan gagasan yang tersimpan agar lebih terlihat dan merefleksikan pengetahuan dan gagasan mereka. Writing in mathematics helps realize one of the major goals in teaching, namely, that students understand the material being studied (Shield dan Swinson, 1996: 35). Artinya, menulis dalam matematika dapat merealisasikan tujuan utama dalam pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang telah diajarkan. Selain itu melalui kegiatan menulis dalam pembelajaran matematika, siswa diharapkan dapat memahami bahwa matematika dibangun melalui suatu proses berpikir yang dinamis, dan diharapkan pula dapat memahami bahwa matematika merupakan bahasa atau alat untuk mengungkapkan ide.

Masingila dan Wisniowska (1996: 95) juga menyebutkan bahwa for teacher, writing can elicit (a) direct communication from all members of a class, (b) information about student’s errors, misconception, thought habits, and beliefs, (c) various students’ conceptions of the same idea, and (d) tangible evidence of students’ achievement. Artinya, manfaat tulisan siswa untuk guru adalah (1) komunikasi langsung secara tertulis dari seluruh anggota kelas, (2) informasi tentang kesalahan-kesalahan, miskonsepsi, kebiasaan berpikir, dan keyakinan dari para siswa, (3) variansi konsep siswa dari ide yang sama, dan (4) bukti yang nyata dari pencapaian atau prestasi siswa.

Aktivitas menulis siswa pada tahap ini meliputi: menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan, mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah (baik penyelesaiannya, ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel agar mudah dibaca dan ditindaklanjuti), mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada perkerjaan ataupun perhitungan yang ketinggalan, dan meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik, yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya (Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari, 2008: 88).

Pada tahap ini siswa akan belajar untuk melakukan komunikasi matematika secara tertulis. Berdasarkan hasil diskusi, siswa dimita untuk menuliskan penyelesaian dan kesimpulan dari masalah yang telah diberikan. Apa yang siswa tuliskan pada tahap ini mungkin berbeda dengan apa yang siswa tuliskan pada catatan individual (tahap think). Hal ini terjadi karena setelah siswa berdiskusi ia akan memperoleh ide baru untuk menyelesaikan masalah yang telah diberikan.
Berikut adalah desain pembelajaran dengan strategi pembelajaran TTW (Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari, 2008: 89)


Untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan harapan diatas, dirancang pembelajaran yang mengikuti langkah-langkah berikut:

1) Guru membagi Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berisi masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Jika diperlukan diberikan sedikit petunjuk.

2) Siswa membaca masalah yang ada dalam LKS dan membuat catatan kecil secara individu tentang apa yang ia ketahui dan tidak ketahui dalam masalah tersebut. Ketika siswa membuat catatan kecil inilah akan terjadi proses berpikir (think) pada siswa. Setelah itu siswa berusaha untuk meyelesaikan masalah tersebut secara individu. Kegiatan ini bertujuan agar siswa dapat membedakan atau menyatukan ide-ide yang terdapat pada bacaan untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.

3) Siswa berdiskusi dengan teman dalam kelompok membahas isi catatan yang dibuatnya dan penyelesaian masalah dikerjakan secara individu (talk). Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematika dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi atas soal yang diberikan. Diskusi akan efektif jika anggota kelompok tidak terlalu banyak dan terdiri dari anggota kelompok dengan kemampuan yang heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat Huinker dan Laughlin (1996: 82) yang menyatakan bahwa this strategy to be effective when students working in heterogeneous group to six students, are asked to explain, summarize, or reflect. Artinya, strategi TTW akan efektif ketika siswa bekerja dalam kelompok yang heterogen yang terdiri dari 2 sampai 6 siswa yang bekerja untuk menjelaskan, meringkas, atau merefleksi.

4) Dari hasil diskusi, siswa secara individu merumuskan pengetahuan berupa jawaban atas soal (berisi landasan dan keterkaitan konsep, strategi, dan solusi) dalam bentuk tulisan (write) dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu siswa menghubungkan ide-ide yang diperolehnya melalui diskusi.

5) Perwakilan kelompok menyajikan hasil diskusi kelompok, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.

6) Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari. Sebelum itu dipilih beberapa (atau satu) orang siswa sebagai perwakilan kelompok untuk menyajikan jawabannya, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.